PT Chickin Sahabat Peternak Diduga Manipulasi Data dengan Pihak Bank BPR, Somasi Kuasa Hukum Dinilai Tidak Tepat
JATENG – Somasi yang dilayangkan oleh Bryan Prima Susanto, S.H., kuasa hukum PT Chickin Sahabat Peternak, kepada Pimpinan Redaksi (Pimred) Berita Istana mendapat tanggapan tegas dari Warsito selaku pimpinan redaksi. Warsito menyatakan bahwa somasi tersebut tidak berdasar dan mencerminkan kurangnya pemahaman terkait dunia jurnalistik.
Kasus ini bermula dari dugaan manipulasi data, tindak pidana pencucian uang (money laundering), dan penipuan yang dilakukan oleh PT Chickin Sahabat Peternak melalui transaksi di tiga Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang berlokasi di Pasuruan dan Palembang. Salah satu korban, Joko Susilo, menyebutkan bahwa dalam kurun waktu satu bulan, namanya digunakan untuk pencairan dana di BPR tanpa sepengetahuannya.
Joko Susilo kini resmi didampingi oleh kuasa hukumnya, Dedy Afriandi Nusbar dan rekan, untuk mengusut tuntas kasus ini. “Saya merasa dirugikan karena nama saya dipakai tanpa izin untuk transaksi yang saya tidak tahu menahu,” ungkap Joko Susilo.
Menanggapi somasi dari pihak kuasa hukum PT Chickin Sahabat Peternak, Warsito menyatakan bahwa media memiliki peran dan tanggung jawab dalam mengungkap fakta di lapangan. “Somasi yang dilayangkan ini sangat tidak berdasar. Seharusnya oknum pengacara ini belajar jurnalistik dulu agar tidak ditertawakan oleh orang-orang yang paham betul dunia ini,” tegas Warsito.
Menurut Warsito, sebagai media yang kredibel, Berita Istana selalu mengedepankan prinsip kerja jurnalistik, yakni melakukan verifikasi dan konfirmasi atas setiap informasi yang diterima sebelum dipublikasikan. Ia juga menyayangkan langkah somasi yang dinilai tidak menghormati fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi.
Kasus ini kini menjadi perhatian luas, baik di kalangan masyarakat maupun praktisi hukum. Kuasa hukum Joko Susilo, Dedy Afriandi Nusbar, menegaskan akan membawa kasus ini ke ranah hukum untuk memastikan keadilan bagi kliennya. “Kami tidak hanya akan menuntut ganti rugi, tetapi juga memastikan pihak yang terlibat dalam manipulasi ini bertanggung jawab secara hukum,” ujarnya.
Sementara itu, Warsito berharap semua pihak menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan memberikan ruang bagi media untuk menjalankan tugasnya sebagai kontrol sosial. “Kami akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas, demi memberikan informasi yang akurat kepada publik,”
Lebih lanjut, Warsito menegaskan, dalam dunia jurnalisme, istilah “uka-uka” sering kali muncul dalam pembicaraan sebagai simbol ketidakprofesionalan dalam praktik pers. Namun, apakah benar semua pihak, termasuk aparat hukum dan pengusaha, benar-benar memahami apa itu “uka-uka”? Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa ketidakpahaman terhadap uka-uka menjadi akar dari berbagai persoalan.
Ketidakpahaman yang Berlipat
Sering kali, seseorang yang tidak memahami permasalahan mencoba mengendalikan situasi, hanya untuk menjerumuskan orang lain ke dalam ketidakpahaman yang sama. Ketika aparat hukum, pengusaha, atau pihak lainnya yang dianggap memahami hukum ternyata tidak paham akan konsep uka-uka, mereka justru berkontribusi pada penyebaran kebodohan kolektif.
Mengapa ini dikatakan bodoh? Karena mereka yang tidak paham ikut mengarahkan orang lain, sehingga semua pihak terjebak dalam situasi tanpa pemahaman yang benar. Sebagai contoh, jika Anda berurusan dengan uka-uka tetapi tidak memahami seluk-beluknya, maka Anda hanya menjadi alat dalam rantai yang tidak produktif.
Mengacu pada UU Pers
Untuk memahami lebih dalam soal uka-uka, Anda disarankan untuk merujuk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dengan hanya 21 pasal, UU ini cukup singkat dan mudah dianalisis. Sayangnya, banyak pihak malas membaca bahkan dokumen hukum dasar ini, sehingga gagal mempraktikkan jurnalisme yang profesional.
Perbandingan Profesional dan Pemilik Uka-Uka
Pemegang uka-uka biasanya hanya mendapatkan keuntungan kecil, mulai dari Rp50 ribu hingga Rp200 ribu, dari kerjasama dengan berbagai pihak seperti pengusaha, pejabat, atau aparat hukum. Bandingkan dengan jurnalis profesional seperti Karni Ilyas, Najwa Shihab, atau Rosiana Silalahi, yang memiliki portofolio dan rekam jejak jelas di dunia jurnalisme. Para profesional ini tidak hanya memperoleh penghasilan yang jauh lebih besar, tetapi juga dihormati atas kualitas kerja dan integritas mereka.
Mengapa perbedaannya begitu besar? Pemegang uka-uka hanya bergantung pada “kertas uka-uka,” tanpa kompetensi atau rekam jejak yang jelas. Sementara itu, para profesional memiliki karya nyata, portofolio yang kuat, dan kredibilitas yang diakui oleh masyarakat luas.
Kesimpulan : Ketidakpahaman terhadap uka-uka tidak hanya merugikan individu tetapi juga melemahkan kredibilitas jurnalisme itu sendiri. Oleh karena itu, penting untuk terus belajar dan memahami UU Pers, serta mengedepankan profesionalisme di dunia pers. Jika Anda masih bertanya-tanya soal uka-uka, saatnya berhenti sejenak dan mulai memahami inti permasalahannya.
Jangan hanya menjadi pemegang uka-uka yang bekerja tanpa arah, tetapi jadilah profesional yang berkontribusi nyata bagi dunia jurnalisme.(iTO)tutup Warsito.